Ada 2 point yang menarik untuk disimak dari pernyataan Menkominfo Bapak Sofyan Djalil di dalam wawancara beliau di Majalah Tempo.
- Open Source belum siap untuk digunakan
- Pemerintah (menkominfo? ) akan melakukan sensus software ilegal di lembaga pemerintah.
2 point ini yang menjadi perhatian utama saya, karena kedunya menunjukkan bagaimana karakter Bangsa kita yang tercermin dari perilaku pejabat-pejabat negara kita.
1. Open Source belum siap digunakan
Ketika bekerja di sebuah perusahaan asing sekian tahun yang lalu ada satu kejadian yang membekas di benak saya. Pada satu waktu departemen kami diminta untuk merancang sebuah sebuah jaringan, alhasil kami pun merancang dan mengajukan rancangan kami ke atasan (yang bukan berlatar belakang IT). Apa yang dilakukan atasan kami cukup mengherankan saya, yaitu dia bertanya kepada koleganya (sebangsa dan setanah air Jerman) yang nota bene bukan orang IT juga. Untuk sesaat saya merasa "panas", orang ini kok aneh, tim kami yang notabene keahliannya di bidang ini kok malah minta second opinion dari orang yang keahliannya gak berhubungan sama sekali.
Tapi, kejadian itu bukanlah yang pertama. Bahkan saya menemukan kejadian tersebut berkali kali dalam berbagai kondisi. Intinya: mereka sangat percaya kepada koleganya yang sebangsa dan seTanah Air. Dalam pemilihan perangkat juga begitu. Kadang saya protes, kenapa saya harus menggunakan perangkat dari Jerman yang mahal dan sulit didapatkan itu? Jawaban mereka: karena duit-nya akan masuk ke perusahaan itu juga akhirnya, jadi biar mahal tidak apa apa toh cuma pindah dari kantong sebelah kiri ke kantong sebelah kanan.
Sekarang mari kita lihat karakter tersebut dan bandingan dengan karakter bangsa kita yang tercermin dari wawancara Menkominfo Sofyan Djalil: beliau mengatakan Open Source belum siap untuk digunakan. Oke Bapak Menteri, jadi rupanya Bapak lebih percaya kepada Redmond daripada MenRistek yang sudah susah payah membuktikan bahwa Open Source itu layak pakai.
Saya bisa merasakan perasaan Menristek dengan pernyataan Pak Sofyan Djalil. Kalau itu yang mengatakan orang lain masih mendingan, namun ini dikatakan oleh rekan sesama menteri yang seharusnya ikut mendorong dan bukan malah bikin pernyataan perangkat lunak yang sudah digunakan secara meluas sebagai tidak siap pakai.
Pemerintah lebih suka mengeluarkan 400 miliar untuk bayar perusahaan asing daripada membiayai anak negeri sendiri untuk mengembangkan perangkat lunak Open Source hingga "layak pakai" lebih banyak disebabkan karakter lebih percaya kepada pihak asing ini.
Kenapa saya mengatakan karena karakter? Sebab kalau saya katakan bahwa dibalik MOU itu adalah "komisi", "perselingkuhan" ataupun "tekanan asing" saya tidak punya bukti. Tapi saya dapat melihat karakter yang saya sebut sebelumnya diperlihatkan oleh mereka yang berada dibalik MOU tersebut.
2. Sensus Software Ilegal di Pemerintah.
Nah ini dia pernyataan menarik lainnya dari wawancara di Majalah Tempo: pemerintah akan melakukan sensus terhadap penggunaan perangkat lunak ilegal (baca: bajakan) di lembaga pemerintahan. Mengapa menarik, sebab kesimpulan dari pernyataan tersebut adalah sebagai berikut:
- Pemerintah mengakui telah melakukan pembajakan piranti lunak ( kalo tidak, buat apa di sensus?)
- Hukum ternyata tidak berlaku untuk Pemerintah, tidak seperti rakyatnya yang sejak 2 tahun terakhir ini dihantui sweeping perangkat lunak bajakan.
Untuk kesimpulan No. 1, maka masukan bagi KPK adalah: tolong periksa secara seksama semua Anggaran yang berhubungan dengan sistem komputer, jika didalamnya sudah mencakup pembiayaan untuk perangkat lunak dan tetap terjadi pembajakan berarti ada dugaan korupsi telah terjadi.
Untuk kesimpulan No. 2, saya tidak tahu harus berkata apa. Sebagai saksi bagaimana represifnya penegakan UU Haki di Warnet (yang berujung bangkrutnya beberapa warnet) ternyata Pemerintah lupa membersihkan dirinya sendiri. Bahkan lebih hebat lagi: Dengan bangga mau membayar (uang rakyat tuh!! x-( ) ber miliar miliar dengan alasan dapat diskon. Yah, semut di seberang terlihat dan diinjak-injak, gajah di pelupuk mata perlu disensus dulu.
Di akhir tulisan ini, sekali lagi saya tekankan bahwa persoalan ini bukan semata-mata urusan Microsoft vs Open Source seperti yang di tenggarai oleh beberapa orang yang di anggap sebagai tokoh-tokoh IT, tapi dimensi persoalan ini lebih jauh dari itu. MOU ini membuka mata kita bahwa Hukum tidak berlaku sama untuk semua orang di negeri ini yang aparatnya tetap ngotot berkata bahwa negeri ini adalah negeri hukum. MOU ini juga membuka mata kita bagaimana karakter lebih percaya kepada orang asing adalah karakter mendasar bangsa kita. Setelah menyebutkan point-point di atas masihkah berani menyebut kami Pahlawan Kesiangan? kalau masih, mungkin saya perlu belajar lagi apa arti sesungguhnya dari Nasionalisme.
4 komentar:
memang beda antara orang yang ngerti serta peduli dgn orang yang tidak mengerti and tdk peduli. maunya instan..he..hehe. semenjalk IGOS dikumandangkan dan ditantadangani sekian menteri termasuk al:Menteri pendidikan dll, bukankah ini menggambarkan bahwa IGOS bagian daripada platform di Indonesia. lalu platform ini mulai bergeser dgn kalimat "tidak memihak ke salah satu OS".
mirip lumpur lapindo, tambal sulam terus tapi tetap aja ngocor.(Daeng)
Iya, meringis ngeliatnya ini. 400 Milyar lari keluar gitu! Gila banget dah... ya mau gimana lagi, orang menteri depkominfo-nya juga *mungkin* bukan orang yang ngerti tentang kominfo
bingung....
bingung....
bingung....
Sulit memang jika mental pemimpin seperti itu. Tinggal kita yang geleng2 sambil nonton :). Logika apa yg dipake sama om Menkominfo ... hehehehhe
ngeringis ajah de !
oia mas Iwin.. salam buat om Ipen !
Posting Komentar